...
Aku berhenti didepan majalah dinding
yang hari ini menampilkan semua lukisan yang dilombakan. Aku memutuskan untuk
melihat-lihat sebentar. Lagipula ini masih cukup siang, maksudku belum terlalu
sore. David pasti juga belum ada di depan. Aku tahu sekali bagaimana dia. Jika
kuminta menjemput jam 3, pasti dia datangnya hampir jam 4. Jadi karena ini
masih jam tiga kurang seperempat, sepertinya tidak apa-apa kalau aku tinggal
sebentar.
Aku melihat beberapa lukisan yang menurutku
benar-benar cukup mengagumkan. Oke, sebenarnya aku bukan penilai seni yang
baik. Aku juga bukan pelukis yang baik. Tapi sepertinya aku bisa membedakan
mana lukisan yang mengagumkan dan yang tidak.
Beberapa dari lukisan itu
menggambarkan karakter-karakter yang aneh seperti iblis bersayap, kelinci
bermata satu, manusia dengan banyak lubang ditubuhnya, dan seorang perempuan
yang hanya mengenakan pakaian seperti bikini berwarna hitam mengenakan topeng
dengan saluran udara dan menyampirkan sebilah pedang di pundaknya. Aku
termenung menatap lukisan yang terakhir itu. Oke, itu lukisan yang aneh.
Benar-benar aneh. Apa artinya itu? Aku tidak tau maksud dari lukisan-lukisan di
dinding ini tapi rasanya aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari lukisan
yang satu ini. Oke, ini memang aneh menurutku, tapi bagus. Sungguh.
Saking asiknya mengamati lukisan itu
aku tidak menyadari kalau ada laki-laki yang berjalan di belakangku dan
berhenti di belakangku untuk melihat apa yang kulakukan. Laki-laki itu
menggenggam ponselnya sembari mengamatiku. Ia kemudian beralih menatap ke
lukisan yang tengah kuamati. Laki-laki itu tersenyum sebentar kemudian berjalan
pelan kearahku.
Aku masih mengamati lukisan itu dengan
seksama ketika laki-laki itu kemudian berdiri disampingku.
“It
just launched today.” Ucapnya kemudian dan aku seketika terkejut. Aku
menoleh padanya. Siapa dia? Sepertinya aku tidak kenal. Aku hanya mengangguk
pelan. Laki-laki itu berdiri disampingku sembari melipat lengannya.
“Yea,
I know.” Jawabku. Aku kembali mengamati lukisan perempuan berpedang itu.
Laki-laki tadi melirikku sekilas dan kemudian melihat lukisan yang tengah
kuperhatikan. Ia menatapku lagi dengan heran.
“I
see you notice this picture so excited. Is this weird or something?” tanya
laki-laki itu kemudian dan aku menaikkan kedua alisku. Aku menoleh pelan
kearahnya dan memaksakan senyum. Jadi dia sejak tadi memperhatikan apa yang kulakukan?
Sejak kapan?
Aku menoleh kembali ke arah lukisan
yang laki-laki itu maksud dan mengangguk-angguk pura-pura menilai.
“Yea,
I think it’s weird...” aku mengangguk-angguk sembari mengamati lukisan itu.
“Really?
Which is weird?” tanya laki-laki itu dan aku berpikir.
“I
don’t know. Do you think a girl should wear something like that and hold a
sword in her shoulder? I think it’s kinda crazy because nobody know this
picture mean. I mean, I don’t. I don’t know this picture mean. I think I can
more understand the other picture like this...” aku menunjuk lukisan iblis
yang besayap. “...and this, and this..”
aku menunjuk yang lain. “But truly I
don’t know this one.” Terakhir aku menunjuk lukisan perempuan berpedang
itu. Aku menoleh pada laki-laki itu untuk melihat reaksinya atas pendapatku. Ia
hanya mengangguk-angguk sembari berpikir.
“But
you find it interesting, right?” tanyanya kemudian. Oke, itu pertanyaan
rektorik.
“Well...” aku kembali melihat lukisan
itu. “...yes, I do. Even if I think this
is little weird, but... actually this is totally great and very interesting
than the other.” Jawabku. Laki-laki itu memandangiku dan tersenyum.
“That’s
what the ‘eye-catching’ mean.” Ucapnya kemudian. Apa? Aku mengerutkan
kening.
“Eye-catching?”
tanyaku. Laki-laki itu mengangguk-angguk pasti.
“Yea.”
Dan aku menoleh untuk meminta keterangan lebih lanjut. Laki-laki itu memeluk
dirinya dan menunduk, kemudian mendongak menatap lukisan itu dan menunjuknya.
“You
don’t have to know the meaning of what you see. The purpose of the creator is
make the people interesting by seeing it, and... neglecting everything around
it.” Jelas laki-laki itu dan aku mengangguk-angguk paham. Aku kembali
menoleh kearah lukisan itu.
“Well...
its creator must really know it so well.” Ucapku. Laki-laki itu tersenyum.
Aku kemudian menyadari sesuatu. Aku baru sadar aku belum melihat siapa
pelukisnya. Aku mendekatkan wajahku ke lukisan itu dan mencari di pojok kanan
bawah. Lalu aku menemukan sebuah nama tertulis disana.
“Joe?”
ucapku sembari menunjuk tulisan itu. Laki-laki itu diam saja dan aku menoleh
padanya. Ia mengerutkan kening padaku.
“This
creator is Joe.” Ucapku padanya seolah mencoba memberitahunya. Ia menarik
nafas dan menatapku heran.
“So?”
tanyanya dan aku melebarkan mata.
“All
of my friends talk about him and say that he’s so interesting with his draw
talent.” Ucapku pada laki-laki itu seolah berusaha meyakinkannya. Laki-laki
itu tetap saja menatapku heran tapi kali ini ia tersenyum bingung.
“So...
what do you think?” tanyanya kemudian. Aku melebarkan mata menatapnya dan
berusaha mengatakannya. Apa? Apa dia tidak tahu yang kuucapkan? Aku menoleh ke
lukisan itu sejenak dan berpikir. Lalu aku menoleh lagi ke laki-laki itu dan
berusaha mengatakan sesuatu yang mungkin terdengar konyol.
“I
don’t even know him.” Ucapku sembari menatapnya dan dia balik menatapku. “You know him?” tanyaku padanya dan dia
menatapku heran. Ia berpikir sejenak, kemudian tersenyum seolah menahan tawa.
“Sure...”
jawabnya kemudian. Aku seketika menghela nafas dan menepuk jidatku sendiri.
“I
feel like an stranger here.” Gerutuku pada diri sendiri dan laki-laki itu
tertawa di sebelahku.
“You
are.” Ujarnya. Aku menghela nafas dan menertawai diriku sendiri.
“No
way...” ucapku lirih. Kami berdua tertawa dan kembali mengamati lukisan
itu.
“Anyway...
what do you think this picture suppose to be before you realize that the
purpose of it is interested someone?” tanyanya kemudian. Aku menghela nafas
pelan dan berfikir.
“Hmm... I don’t know. Maybe this girl should be wear a long dress and standing
more girly.” Ucapku dan kemudian aku tertawa tapi laki-laki itu
kelihatannya tertarik.
“No
no no. I’m not serious. That must be exactly more weird than this and not
become eye-catching anymore.” Aku langsung mengoreksi opiniku. Laki-laki
itu mengamati lukisan itu dan kelihatan berpikir.
“I
think that could to try. I’ll try it.” Ucapnya kemudian dan aku tersenyum
sembari mengangguk-angguk.
“I
think I should go, now. Bye, stranger.” Ujarnya kemudian sembari berlalu
meninggalkanku.
“Okay.”
Jawabku. Baru beberapa langkah ia berjalan, aku tiba-tiba menyadari sesuatu.
Apa dia tadi mengatakan dia akan mencobanya? Apa maksud—,
“Hey, Joe!!” tiba-tiba seseorang
berteriak dari belakangku dan membuyarkan lamunanku. Aku refleks menoleh ke
belakang dan melihat seorang laki-laki setengah berlari menghampiri laki-laki
yang tadi bicara denganku. Aku seketika terkejut dan langsung menoleh kearah laki-laki
tadi.
Laki-laki itu berhenti dan berbalik
untuk melihat siapa yang memanggilnya. Sementara laki-laki yang memanggilnya
berjalan menghampirinya, dia menoleh kearahku dan aku menatapnya kaget.
Kemudian ia tersenyum padaku.
“Hey,
do you think you can give me some opinion about this? I made it all the night
and I need a perfection to send it today because it’s a deadline.” Aku
mendengar laki-laki yang tadi memanggilnya bicara padanya tapi dia masih
tersenyum menatapku.
“Sure...”
ucapnya pada laki-laki tadi sembari berbalik dan berjalan pergi meninggalkanku
yang masih menatapnya tidak percaya.
Apa? Apa dia itu yang namanya Joe? Apa
orang itu tadi yang namanya Joe? Yang bicara padaku? Yang berdiskusi tentang
lukisannya dan aku secara jelas mengatakan padanya bahwa lukisannya aneh? Tidak
mungkin...
Aku menatap lukisan itu kembali dan
tersenyum kecut.
“You...”
ucapku sembari melangkah mundur. “...great.”
tambahku.
***
“Haven’t
you see the picture in the wall magazine today? I really like to see it. Do you
know what’s Joe draw for this competition? Once again he draw something
amazing. You have to see it soon, Larry. Well, I’m gonna wait you today after school in front of the wall. Bye,
buddy.” Aku membuka pesan suara yang sejak jam pertama tadi bersarang di
ponselku. Aku langsung menutupnya begitu pesannya selesai dan memasukkannya
kedalam saku dan kembali melihat latihan di lapangan.
“I’m
not... gonna go there anymore.” Janjiku pada diri sendiri.
Aku masih tidak habis pikir bagaimana
aku bisa bicara begitu padanya. Dasar penipu. Kenapa dia tidak memberitahu
namanya ketika aku tanya padanya apa dia mengenal Joe? Sial, dia memang
menjebakku.
Aku melihat kembali ke lapangan dengan
kesal. Dan seperti apa yang dia lakukan belum cukup saja padaku, aku melihatnya
berdiri di seberang lapangan sembari menatap kearahku. Aku terkejut melihatnya.
Mau apa dia?
Joe tersenyum dan aku mengalihkan
pandangan dengan bingung. Apa aku harus pergi dari sini? Aku melihatnya lagi
dan ia berjalan kearahku dengan masih tetap tersenyum. Aku tidak percaya ini.
Dia mau mengejekku atau apa?
Dia menaiki tangga di sisi bangku
penonton dan aku mengalihkan pandanganku jauh-jauh darinya. Mencoba terlihat
benar-benar tertarik dengan apa yang terjadi di lapangan. Aku bisa merasakan ia
masuk ke barisan bangkuku dan semakin mendekat. Aku masih tidak mengalihkan
pandangan kearahnya. Kemudian ia benar-benar berhenti di sebelahku, berdiri.
“Hey,”
sapanya kemudian dan aku berpikir untuk pura-pura tidak mendengar. Oke, itu
pasti akan terlihat bodoh. Apa aku tidak sadar dia sedekat itu? Kemudian aku
memutuskan untuk tidak menghiraukan apa yang akan ia katakan padaku jika aku
membalas sapaannya. Akupun menoleh dan mendongak padanya karena ia masih
berdiri sementara aku duduk. Aku memaksakan senyum yang lumayan lebar padanya
tapi sejujurnya aku ingin ia tau kalau aku tidak ikhlas melakukannya. Memangnya
aku peduli?
“Hey,
Joe.” Ujarku dengan menekankan suara pada namanya. Aku melihatnya tertawa
tertahan tapi ia menatapku seolah aku aktris komedian.
“So
you know my name now?” tanyanya kemudian. Oh, dia benar-benar mengajak
berkelahi kelihatannya. Beruntung aku masih memutuskan untuk bersabar, jadi aku
tetap tersenyum.
“Yea,
whatever.” Ucapku sembari memalingkan muka. “Holy shit,” aku menambahkan dalam bisikan. Kenapa aku tidak bisa
menatap senyumannya itu? Aku tidak mendengarnya mengatakan apapun ketika aku
memilih untuk memandang ke tepi lapangan ketimbang ke arahnya. Tapi kemudian ia
bicara.
“Actually,
I went here ‘cause I want to show you something,” ucapnya. Tidak bisa
tidak. Tentu saja aku cukup terkejut dan jadi penasaran. Tapi aku belum
memutuskan untuk menoleh. Apa lagi kali ini? Dan karena dia tidak berbicara
lagi, aku memutuskan untuk membuatnya senang dengan kenyataan bahwa aku memang
penasaran. Jadi aku menoleh dan mengerutkan kening padanya. Asal kau tahu, kali
ini aku tidak berpura-pura.
“Show
me what?” tanyaku heran. Aku baru sadar dia menyembunyikan sesuatu di balik
punggungnya. Ia memegang entah apa itu dengan tangan kanannya kemudian ia
menariknya dan merentangkan sebuah lukisan padaku. Aku melihat apa yang
terlukis disana dan seketika aku melebarkan mata tidak percaya.
“Ta,
da.” Ucapnya datar dan aku masih terbengong menatap lukisan itu. Dia
benar-benar melakukannya. Dia benar-benar melakukan apa yang aku katakan
tentang lukisannya di majalah dinding yang dilombakan itu. Dia melukisnya. Ya,
dia benar-benar melukisnya. Seorang perempuan berdiri di tanah gersang dengan
pakaian yang sangat girly, dan ia
berdiri dengan gaya seperti layaknya seorang model, tetap memakai topeng
bersaluran udara yang sama persis dengan lukisannya di majalah dinding itu, dan
kali ini dia tidak membawa pedang, tapi seekor kelinci berdiri didepannya
dengan memakai topeng yang sama dan saluran udaranya terhubung dengan si perempuan.
Aku hanya bisa memandangi karyanya itu tanpa bisa mengatakan sepatah katapun.
Joe menatapku seolah menunggu apa yang aku ucapkan dan aku benar-benar berusaha
untuk mengatakan sesuatu.
“Uw...wow!”
akhirnya hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Joe tersenyum dan aku mengulurkan
tangan untuk mengambil lukisan itu dari tangannya. Ia memberikannya padaku dan
kemudian duduk di sebelahku sementara aku menunduk mengamati lukisan itu.
“Wow,
it’s... it’s amazing.” Ucapku. Aku bisa merasakan Joe tersenyum menatapku
disebelahku begitu dekat. Aku menoleh padanya dan terkejut betapa dekatnya ia
duduk disebelahku. Aku menarik wajahku sedikit menjauh dan senyumnya memudar.
“You
really did what I said?” tanyaku tidak percaya dan sejenak kemudian ia
kembali tersenyum.
“Yap.
So what do you think?” tanyanya tanpa berusaha menjauhkan wajahnya dariku.
Aku akui aku sedikit grogi dengan keadaan ini, tapi aku masih benar-benar tidak
percaya dengan lukisan yang aku pegang. Aku menggeleng padanya tidak percaya
dan kembali menunduk melihat lukisan itu di pangkuanku.
“You
should give it to the competition,” ujarku seraya kembali menatapnya. “Really, I’m serious. Right now.”
Tambahku. Ia menatapku sejenak kemudian tersenyum dan mengambil kembali
lukisannya dari pangkuanku. Aku masih menatapnya. Maksudku, aku
sungguh-sungguh. Sungguh.
“I
don’t want to give it to everything or everyone. This is my secret drawing.”
Ujarnya sembari menatap lukisannya. Aku mengerutkan kening heran. Lalu kemudian
aku tertawa tertahan.
“Sure
that’s not a secret anymore. I already know it, remember?” ucapku padanya
dan dia mendongak. Kali ini ia tidak tersenyum ataupun menahan tawa. Dia
menatapku tanpa ekspresi dan aku melihatnya sebagai tatapan penuh arti.
“Yea.
Just you and me who ever gonna see this.” Ucapnya kemudian membuatku tidak
percaya. Aku tertawa tertahan sembari memalingkan muka. Yang benar saja? Apa
maksudnya? Apa dia berusaha merayuku dengan ini? Apa dia mencoba terlihat
menarik didepanku? Dan mencoba membuatku tertarik? Begitu? Hufh... mainstream. Baru sekitar dua puluh empat
jam yang lalu aku bertemu dengannya. Mana mungkin ini akan berhasil padaku?
Yang benar saja, man? Dan kemudian
saja aku terpikirkan sesuatu. Kalau aku baru bertemu dengannya kemarin sore dan
hari ini dia menemuiku lagi dengan membawa lukisan itu, berarti dia membuat
lukisan itu tadi malam? Satu malam? Sebagus itu? Oke, mungkin itu cukup untuk
membuatnya menarik dan membuatku cukup tertarik. Aku tersenyum dalam hati
menyadari apa yang aku pikirkan. Hoho, yang benar saja?
Aku menghela nafas ringan dan mencoba
kembali ke kehidupan nyata.
“So...”
aku menoleh padanya. “What are you doing
here?” tanyaku dan pada saat yang bersamaan, dia mengucapkannya juga dengan
kalimat yang sama persis. Dia tersenyum dan aku tertawa ringan.
“Do
you read someone’s mind now?” tanyaku menggodanya. Dia hanya tersenyum dan
menunduk. Apa aku tidak salah lihat? Apa dia benar-benar kelihatan malu?
“I
don’t read anybody’s mind.” Jawabnya seraya mendongak. Aku menatapnya dan
dia balik menatapku. Aku tidak tahu apa ini. Dan aku tidak mau tahu. Belum. Aku
mengalihkan pandangan dan berusaha bersikap biasa saja.
“So
you’re just gonna keep that picture just for yourself?” tanyaku tanpa
menoleh padanya. Beberapa saat dia tidak menjawab. Tapi kemudian, “You can keep it if you want.” Ujarnya
dan aku menoleh menatapnya.
“I
can make it again but maybe I’ll create it by computer.” Tambahnya. Bukan
itu yang aku maksud dan aku yakin dia tahu itu.
“You,
want me to keep the original of your draw that you call it as a secret drawing?”
tanyaku tidak percaya. Dia menatapku sejenak tanpa ekspresi dan kemudian
mengangguk. Ia tersenyum dan aku tertawa ringan.
Aku mengalihkan pandangan dan berusaha
bersikap biasa saja. Oke, dia aneh. Aku
tidak mau secepat ini. Bagaimana bisa aku tidak berkedip menatap mata coklat
yang jernih itu. Aku benar-benar harus bangun sekarang. Dan akupun sadar,
sebelum ini terlalu jauh, aku harus menghindar.
Sampai aku tahu sejauh mana dia
bersikap, aku akan tetap menyimpan ini, meskipun sebenarnya aku setengah yakin
dengan apa yang aku rasakan. Tapi itu juga berarti satu hal. Bahwa setengahnya
aku juga belum yakin dengan apa yang aku rasakan.
***
No comments:
Post a Comment